Mengenal 4 Imam Madzhab, Ulama Fiqih Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Daulah Abbasiyah yang berkuasa selama lima setengah abad, adalah salah satu pemerintahan dalam sejarah Islam yang sangat mementingkan usaha pengembangan intelektual ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Usaha ini mendapat sambutan yang sangat baik dari para ilmuan.
Bentuk usaha pengembangan ilmu pengetahuan itu di antaranya mencari naskah-naskah yang berisi ilmu pengetahuan dan peradaban untuk dimiliki kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Permasalahan tentang pemahaman perbedaan madzhab di lingkungan masyarakat sampai sekarang masih terjadi.
Pembahasan madhab ini sering di diskusikan dalam forum keumatan dan juga masih di sampaikan oleh kalangan para Ulama tentang adanya perbedaan masalah Madzhab tersebut, karena masyarakat luas pada umumnya masih belum mengetahui sepenuhnya tentang arti perbedaan dalam masalah madzhab.
Berikut adalah 4 (empat) Imam Madzhab, Ulama fiqih pada masa Dinasti Abbasiyah, diantaranya:
1. Imam Hanafi
Nama lengkapnya adalah Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan At-Taymi, ia dikenal sebagai Abu Ḥanifah, lahir di Kufah, Irak pada tahun 80 Hijriyah atau 699 Masehi dan wafat di Baghdad, Irak, 148 Hijriyah 767 Masehi, sebagai pendiri Madzhab Hanafi. Pada masa kecil hingga remajanya, telah menunjukkan kecintaannya kepada ilmu.
Disamping menuntut ilmu fiqh, juga mendalami ilmu tafsir, hadits, bahasa arab dan ilmu hikmah. Meski anak seorang saudagar kaya, kehidupannya sangat sederhana. Abu Hanifah merupakan seorang yang takwa dan soleh, seluruh waktunya lebih banyak diisi dengan amal ibadah. Jika berdoa air matanya bercucuran mengharapkan keridhaan Allah SWT.
Imam Hanafi atau Abu Hanifah merupakan seorang Tabi’in, generasi setelah sahabat Nabi, karena pernah bertemu dengan sahabat Nabi, diantaranya yang bernama Anas bin Malik, dan meriwayatkan Hadist darinya.
Selanjutnya, Imam Hanafi disebut sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok mulai dari bab kesucian (taharah), salat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya.
Madzab Hanafi dan fatwa-fatwanya disebarluaskan oleh murid-muridnya sehingga tersebar luas dan dikenal sebagai salah satu madzab yang empat. Di antara muridnya yang terkenal adalah Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, guru dari Imam Syafi’i. Karya-karya Imam Hanafi, yaitu.
1. Fiqh Akhbar
2. Al ‘Alim Walmutam, dan
3. Musnad Fiqh Akhbar
2. Al ‘Alim Walmutam, dan
3. Musnad Fiqh Akhbar
Dalam menetapkan tentang masalah hukum, Imam Hanafi selalu menggunakan metode berdasarkan Al Quran, Sunnah Rasul, Fatwa sahabat, Qiyas, Istihsan, Ijma’ dan ‘Urf. 'Urf maksudnya adalah adat kebiasaan orang muslim dalam suatu masalah tertentu yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an, Sunnah dan belum ada prakteknya pada masa sahabat.
2. Imam Maliki
Nama lengkapnya Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail bin Amr bin Al-Haris Dzi Ashbah, dilahirkan di Madinah al Munawwaroh pada tahun 93 Hijriyah (pendapat lain tahun 90 Hijriyah, 94 Hijriyah dan 95 Hijriyah). Imam Malik menerima Hadist dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600 dari Tabi’ut tabi’in.
Imam Malik belajar ilmu di Madinah dan menulis kitab Al-Muwatta, yang disusun selama 40 tahun, dan telah ditunjukan kepada 70 ahli Fiqh di kota Madinah. Kitab Al Muwaththa’ berisi 100.000 hadits, yang diriwayatkan oleh lebih dari seribu orang dan yang paling masyhur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah Al-Laitsi Al-Andalusi Al-Mashmudi.
Kitab Al Muwatha berisi Hadist-hadist serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama Tabi’in yang membahas tentang ilmu dan hukum-hukum agama Islam. Kitab ini ditulis atas anjuran Khalifah Al-Mansur. Imam Malik menyusun mazhabnya atas empat dasar rujukan: Kitab Suci, Sunnah Rasul, Ijma’, dan Qias.
Pada masanya Imam Malik paling berpengaruh di seluruh Hijaz, dikenal dengan sebutan “Sayyid Fuqaha Al-Hijaz” (pemimpin ahli fiqih di seluruh daerah Hijaz). Ia mempunyai banyak sahabat (murid), di antaranya yang terkenal ialah Muhammad bin Idris bin Syafii, Al-Laisy bin Sa’ad, Abu Ishaq Al-Farazi.
Para pengikut Mazhab Imam Malik yang terbanyak terdapat di Tunisia, Tripoli, Magribi, dan Mesir. Imam Malik menderita sakit selama 22 hari, kemudian 10 hari setelah itu ia wafat. Sebagian meriwayatkan Imam Malik wafat pada 14 Rabiul Awwal 179 Hijriyah pada usia 87 tahun.
3. Imam Syafi'i
Imam Syafi’i merupakan keturunan Quraisy, dari Bani Muththalib, nasabnya bertemu Rasulullah di Abdul Manaf. Dilahirkan di Khuzzah tahun 150 Hijriyah. Perjalanan hidupnya dimulai sejak wafat ayahnya. Sang ibu membawanya ke Mekah. Sejak kecil Imam Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra. Saat usia 7 tahun, telah hafal Al-Qur’an, dan pada usia10 tahun, hafal Al-Muwatta).
Imam Syafi’i berguru fiqih kepada Muslim bin Khalid Az-Zanji. Juga belajar kepada Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, Muhammad bin Ali bin Syafi’, Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Pada usia 15 tahun diizinkan berfatwa oleh gurunya, Muslim bin Khalid Az-Zanji.
Kecerdasannya ini mendapat pujin dari Ali bin Usman, “Saya tidak pernah melihat seseorang yang lebih pintar daripada Syafii”. Sesungguhnya tidak ada seorang pun yang menyamainya di masa itu. Ia pintar dalam segala pengetahuan, sehingga bila ia melontarkan anak panah, dapat dijamin 90 persen akan mengenai sasarannya”.
Ketika hampir berumur 20 tahun, pergi ke Madinah untuk berguru kepada Imam Malik. Kemudian pergi ke Irak, bergaul dengan sahabat-sahabat Imam Abu Hanifah. Selanjutnya ke Parsi dan beberapa negeri lain. Dalam perjalanan ke berbagai negeri membawa banyak pengetahuan dan pengalaman tentang kehidupan manusia.
Hal ini menjadi sangat berguna baginya sebagai alat untuk mempertimbangkan hukum berbagai peristiwa. Imam Syafi’i diminta oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid supaya tinggal di Baghdad dan menyiarkan agama. Pandangan dan pendapatnya diterima oleh segala lapisan. Imam Syafi’i bergaul baik dengan rakyat maupun dengan pemerintah, bertukar pikiran dengan ulama-ulama terutama sahabat-sahabat Imam Abu Hanifah.
Pertemuan langsung Imam Syafi’i dengan Imam Ahmad bin Hanbal terjadi di Mekkah pada tahun 187 Hijriyah dan di Baghdad tahun 195 Hijriyah. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i banyak belajar tentang ilmu fiqih, ushul madzhab, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Melalui pergaulannya inilah Imam Syafi’i dapat menyusun pandangan-pandangannya, yang dikenal dengan 'qaul qadim' (pendapat yang pertama).
Kemudian imam syafi'i kembali ke Mekkah hingga tahun 198 Hijriyah. Pada tahun yang sama pergi ke Mesir. Di Mesir inilah, Imam Syafi’i menyusun pendapatnya yang baru, yang dikenal dengan istilah ‘Qaulul Jadid’'.
Imam Syafi’i seorang mujtahid mutlak, Ulama Fiqh, Ulama Hadist, dan Ushul. Ia mampu memadukan Fiqih ahli Irak dan Fiqh ahli Hijaz. Dasar madzhabnya ialah Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Diantara karya monumentalnya adalah “Ar-Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al -Umm” yang berisi Madzhab Fiqhnya yang baru.
Wasiatnya yang penting, terutama bagi ulama yang mendukung dan mengikuti mazhab Syafi’i, ialah “Apabila hadits itu sah, itulah mazhabku, dan buanglah perkataanku yang timbul dari ijtihadku”. Pengikut mazhab Syafi’i yang terbanyak adalah di Mesir, Kurdistan, Yaman, Aden, Hadramaut, Mekkah, Pakistan, dan Indonesia. Imam Syafi’i wafat di akhir bulan Rajab pada tahun 204 Hijriyah, di Mesir.
4. Imam Hambali
Nama lengkapnya, Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al-Marwazi Al Baghdadi, lahir pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 Hijriyah di Baghdad. Pada usia 15 tahun hafal Al-Qur’an. Dia juga dikenal sebagai orang yang paling indah tulisannya. Imam Ahmad bin Hambal mempunyai hafalan yang kuat, hafal lebih dari satu juta Hadist.
Banyak pujian dari para ulama tentang keistimewaan hafalan Imam Hambali, sebagaimana dikatakan Imam Asy-Syafi’i, bahwa “Ahmad bin Hambal adalah imam dalam delapan hal: Imam dalam Hadist, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’ dan Imam dalam Sunnah”.
Kezuhudannya pun sangat terkenal, seperti yang diceritakan oleh Al-Maimuni bahwa rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil. Ia memakai peci yang dijahit sendiri dan kadang ke tempat membawa kampak untuk bekerja dengan tangannya.
Begitu juga sifat tawadhu'nya. Yahya bin Ma’in berkata : Saya tidak pernah melihat orang yang seperti Imam Ahmad bin Hambal, saya berteman dengannya selama lima puluh tahun dan tidak pernah menjumpai dia membanggakan sedikitpun kebaikan yang ada padanya kepada kami.
Guru-guru Imam Ahmad bin Hambal jumlahnya lebih dari 280 ulama yang berasal dari berbagai tempat seperti Mekkah Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan lainnya. Guru-guru tersebut diantaranya Ismail bin Ja’far, Abbad bin Abbad Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami, Imam Syafi’i, Waki’ bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah, Sufyan bin ‘Uyainah, Abdurrazaq, Ibrahim bin Ma’qil.
Adapun para muridnya diantaranya Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Nasa’i, Imam Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Asy-Syafi’i, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal, Hambal bin Ishaq dan lainnya. Karya-karya Imam Hambali, di antaranya :
1. Kitab Al Musnad yang berisi lebih dari dua puluh tujuh ribu Hadist
2. Az Zuhud, Fadhail Ahlil Bait
3. Jawabatul Qur’an, Al Imaan, Ar Radd ‘alal Jahmiyyah
4. Al Asyribah dan Al Faraidh
2. Az Zuhud, Fadhail Ahlil Bait
3. Jawabatul Qur’an, Al Imaan, Ar Radd ‘alal Jahmiyyah
4. Al Asyribah dan Al Faraidh
Imam Hambali meninggal pada umur 77 tahun hari Jum’at, 12 Rabi’ul Awwal tahun 241 Hijriyah. Dalam proses penguburannya dihadiri oleh lebih dari 800.000 orang pelayat lelaki dan 60.000 orang pelayat perempuan jumlah yang sangat banyak sekali.
Demikian bahasan tentang mengenal 4 Imam madzhab Ulama fiqih pada masa Dinasti Abbasiyah, semoga dengan mengetahui penjelasan hal ini menjadikan kita lebih lembut dalam beragama tidak lagi memandang salah apa-apa yang berbeda dengan yang kita pahami selama ini.