3 Khalifah Yang Terkenal Masa Dinasti Abbasiyah

Selama masa kekuasaan sampai menghantarkan pada kejayaannya, pemerintahan Dinasti Abbasiyah memiliki 37 orang khalifah. Dari jumlah 37 khalifah tersebut muncul tiga nama khalifah yang paling terkenal serta menonjol atas besarnya peranan mereka dalam mendirikan dan membangun kekhalifahan Abbasiyah.


Nama tiga khalifah terkenal tersebut yaitu: Abu Ja’far Al Mansur, Harun Ar-Rasyid dan Al-Makmun. Pada masa pemerintahan ketiganya merupakan masa-masa keemasan peradaban Islam. Para khalifah agung tersebut dikenal sebagai penguasa adil dan bijaksana serta memiliki perhatian dan kecintaan yang  kuat terhadap ilmu pengetahuan. 

Adanya dukungan dan kegigihan mereka dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan pengembangan perdaban Islam tercermin dalam berbagai kebijakan pemerintahannya. 

1. Khalifah Abu Ja’far Al Mansur (136-158 H/754-775 M)

Abu Jafar Abdullah bin Muhammad Al Mansur adalah Khalifah kedua Bani Abbasiyah (pendiri kota Baghdad), ia adalah putera Muhammad bin Ali bin Abdullah ibn Abbas bin Abdul Muthalib, ia dilahirkan di Hamimah pada tahun 101 Hijriyah. Ibunya bernama Salamah al Barbariyah, adalah wanita dari suku Barbar. 

Al Mansur adalah saudara Ibrahim Al Imam dan Abul Abbas As Saffah. Al Mansur memiliki kepribadian kuat, tegas, berani, cerdas, dan otak cemerlang. Ia dinobatkan sebagai putera mahkota oleh kakaknya, Abul Abbas As Saffah. Selanjutnya, ketika As Saffah meninggal, Al Mansur dilantik menjadi khalifah, saat itu usianya baru 36 tahun. 

Al Mansur seorang khalifah yang tegas, bijaksana, alim, berpikiran maju, baik budi, dan pemberani. Ia tampil dengan gagah berani dan cerdik menyelesaikan berbagai persoalan yang tengah melanda pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Al-Mansur juga sangat mencintai ilmu pengetahuan. Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan menjadi pilar bagi pengembangan peradaban Islam di masanya. 

Setelah menjalankan pemerintahan selama 22 tahun lebih, pada tanggal 7 Zulhijjah tahun 158 Hijriyah atau 775 Masehi, al Mansur wafat dalam perjalanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah Haji, di suatu tempat bernama “Bikru Maunah” dalam usia 57 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Makkah. 

a. Kebijakan Khalifah Al Mansur

Setelah dilantik menjadi khalifah pada 136 Hjriyah atau 754 Masehi, Al-Mansur membenahi administrasi pemerintahan dan kebijakan politik. Dia menjadikan Wazir sebagai koordinator departemen. Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balk, Persia. Al Mansur juga membentuk lembaga protokoler negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping membenahi angkatan bersenjata. 

Dia menunjuk Muhammad ibn Abd Al Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya untuk menghimpun seluruh informasi dari daerah-daerah, sehingga administrasi kenegaraan berjalan dengan lancar sekaligus menjadi pusat informasi khalifah untuk mengontrol para gubernurnya 

Untuk memperluas jaringan politik, Al-Mansur menaklukkan kembali daerah-daerah yang melepaskan diri, dan menertibkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Cappadocia, dan Cicilia pada tahun 756-758 Masehi. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus. 

Selain itu, Al Mansur membangun hubungan diplomatik dengan wilayah-wilayah di luar jazirah Arabia. Dia membuat perjanjian damai dengan kaisar Constantine V dan mengadakan genjatan senjata antara tahun 758-765 Masehi. Khalifah Al Mansur juga mengadakan penyebaran dakwah Islam ke Byzantium dan berhasil menjadikan kerajaan Bizantium membayar upeti tahunan kepada Dinasti Abbasiyah. Juga mengadakan kerjasama dengan Raja Pepin dari Prancis. 

Saat itu, kekuasaan Bani Umayyah II di Andalusia dipimpin oleh Abdurrahman Ad-Dakhil. Al-Mansur juga berhasil menaklukan daerah Afrika Utara itu pada tahun 144 Hijriyah, meski kadang kota Kairawan silih berganti bertukar wali. Kadang di kuasai oleh bangsa Arab, di lain waktu jatuh ke tangan Barbar lagi. Baru pada tahun 155 Hijriyah barulah kota itu dikuasai penuh oleh Daulat Abbasiyah. 

b. Mendirikan Kota Baghdad

Di masa awal pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah, yakni di masa Abul Abbas As Saffah, pusat pemerintahan Dinasti bani Abbasiyah di kota Anbar, sebuah kota kuno di Persia sebelah Timur Sungai Eufrat. Istananya diberi nama Hasyimiyah, dinisbahkan kepada sang kakek, Hasyim bin Abdi Manaf. 

Pada masa Al Mansur, pusat pemerintahan dipindahkan lagi ke Kufah, dan mendirikan istana baru dengan nama Hasyimiyah II. Selanjutnya, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara Al-Mansur mencari daerah strategis untuk menjadi ibu kota negara. 

Pilihan jatuh pada daerah yang sekarang dinamakan Baghdad, terletak di tepian sungai Tigris dan Eufrat. Sejak zaman Persia Kuno, kota ini sudah menjadi pusat perdagangan yang dikunjungi para saudagar dari berbagai penjuru dunia, termasuk para pedagang dari Cina dan India. 

Ada juga cerita rakyat bahwa daerah ini sebelumnya adalah tempat peristirahatan raja Kisra Anusyirwan, Raja Persia yang termasyhur. Baghdad berarti “taman keadilan”. Taman itu lenyap bersama hancurnya kerajaan Persia dani namanya tetap menjadi kenangan rakyat. 

Dalam membangun kota ini, khalifah mempekerjakan ahli bangunan yang terdiri dari arsitektur-arsitektur, tukang batu, tukang kayu, ahli lukis, ahli pahat, dan lain-lain yang didatangkan dari Syria, Mosul, Basrah, dan Kufah yang berjumlah sekitar 100.000 orang. Kota ini berbentuk bundar. Di sekelilingnya dibangun dinding tembok yang besar dan tinggi. Di sebelah luar dinding tembok, digali parit besar yang berfungsi sebagai saluran air sekaligus benteng. 

Ada empat buah pintu gerbang di seputar kota ini, disediakan untuk setiap orang yang ingin memasuki kota. Keempat pintu gerbang itu adalah Bab al-Kufah, terletak di sebelah Barat Daya, Bab al Syam, terletak di Barat Laut, Bab al-Bashrah, di Tenggara, dan Bab al-Khurasan, di Timur Laut. 

Diantara masing-masing pintu gerbang ini, dibangun 28 menara sebagai tempat pengawal negara bertugas mengawasi keadaan di luar. Di atas setiap pintu gerbang dibangun tempat peristirahatan yang dihiasi dengan ukiran-ukiran yang indah dan menyenangkan. 

Di tengah-tengah kota terletak istana khalifah dengan seni arsitektur Persia. Istana ini dikenal dengan Al-Qashr al Zahabi, berarti ‘istana emas’. Istana ini dilengkapi dengan bangunan masjid, tempat pengawal istana, polisi, dan tempat tinggal putra-putri dan keluarga khalifah. 

Di sekitar istana dibangun pasar tempat perbelanjaan. Jalan raya menghubungkan empat pintu gerbang. Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam.

Philip K. Hitti, seorang peneliti Sejarah Arab, berpendapat bahwa Baghdad sebagai kota intelektual. Menurutnya, di antara kota-kota di dunia, Baghdad merupakan profesor masyarakat Islam. Bahkan dalan cerita 1001 malam, Baghdad menjadi kota impian. 

Al-Mansur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, yaitu Baghdad, tahun 762 Masehi. Baghdad, selanjutnya bukan hanya menjadi pusat pemerintahan yang strategis, sekaligus juga menjadi pusat kebudayaan dan peradaban. 

c. Pengembangan Ilmu Pengetahuan masa khalifah Al Mansur

Khalifah Al Mansur menunjukkan minat dan perhatian yang besar terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Penyalinan literatur Iran dan Irak, Grik serta Siryani dilakukan secara besar-besaran. Dia mendorong usaha-usaha menterjemahkan buku-buku pengetahuan dari kebudayaan asing ke bahasa Arab, agar dikaji orang-orang Islam. 

Perguruan tinggi ketabiban di Jundishapur yang dibangun oleh Khosru Anushirwan 351-579 Masehi, Kaisar Persia) dihidupkan kembali dengan tenaga-tenaga pengajar dari tabib-tabib Grik dan Roma yang menjadi tawanan perang. 

Khalifah Al Mansur juga mendirikan sebuah perguruan tinggi sebagai gudang pengetahuan diberi nama “Baitul Hikmah”. Usahanya itu telah menjadikan kota Baghdad sebagai kiblat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Ia mengajak banyak ulama dan para ahli dari berbagai daerah untuk datang dan tinggal di Baghdad. 

Ia mendorong pembukuan ilmu agama, seperti fiqh, tafsir, tauhid, Hadits dan ilmu lain seperti bahasa dan ilmu sastra. Pada masanya lahir juga para pujangga, pengarang dan penterjemah yang hebat, termasuk Ibnu Muqaffak yang menterjemahkan buku Khalilah dan Dimnah dari bahasa Parsi. 

2. Khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809 M)

Khalifah Harun Ar Rasyid 145-193 Hijriyah 763-809 Masehi dilahirkan di Ray pada bulan Pebruari 763 Masehi atau 145 Hijriyah. Ayahnya bernama Al Mahdi dan ibunya bernama Khaizurran. Ia dibesarkan di lingkungan istana mendapat bimbingan ilmu-ilmu agama dan ilmu pemerintahan di bawah bimbingan seorang guru yang terkenal, Yahya bin Khalid Al Barmaki, seorang ulama besar di zamannya, dan ketika Ar Rasyid menjadi khalifah, menjadi Perdana menterinya, sehingga banyak nasihat dan anjuran kebaikan mengalir dari Yahya. 

Tanggung jawab yang berat sudah dipikul Harun Ar Rasyid sejak sang Ayah , Khalifah Al-Mahdi melantiknya sebagai gubernur di Saifah pada tahun 163 Hijriyah. Kemudian pada tahun 164 Hijriyah diberikan wewenang untuk mengurusi seluruh wilayah Anbar dan negeri-negeri di wilayah Afrika Utara. 

Harun Ar Rasyid menunjukkan kecakapannya dalam memimpin, sehingga pada tahun 165 Hijriyah, Al-Mahdi melantiknya kembali menjadi gubernur untuk kedua kalinya di Saifah. Harun Ar Rasyid diangkat menjadi khalifah pada September 786 Masehi, pada usianya yang sangat muda, yakni 23 tahun. Jabatan khalifah itu dipegangnya setelah saudaranya yang menjabat khalifah, Musa Al Hadi wafat. 

Kepribadian Harun Ar Rasyid sangat mulia. Sikapnya tegas, mampu mengendalikan diri, tidak emosional, sangat peka perasaannya dan toleran. Akhlak mulianya dikemukakan oleh Abul 'Athahiyah, seorang penyair kenamaan saat itu. Selain itu, Harun Ar Rasyid juga dikenal sebagai seorang khalifah yang suka humor. 

Dia juga terkenal pemimpin yang pemurah dan dermawan. Banyak sejarawan menyamakannya dengan Khalifah Umar bin Abdul Azis dari Dinasti Bani Umayyah. Tak jarang ia juga turun ke jalan-jalan di kota Baghdad pada malam hari melihat kehidupan sosial yang sebenarnya pada masyarakatnya, sehingga tak seorang pun yang kelaparan dan teraniaya tanpa diketahui oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid. 

Perkembangan Kebudayaan dan Peradaban Islam di Masa Khalifah Harun Ar-Rasyid

Khalifah Harun Ar Rasyid mempunyai perhatian dan minat yang besar terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Para ilmuwan dan budayawan dilibatkan dalam setiap pengambilan kebijakan. Khalifah juga melakukan penterjemahan besar-besaran berbagai buku-buku ilmu pengetahuan berbahasa asing ke dalam bahasa Arab. 

Bahasa Arab menjadi bahasa resmi dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dan bahkan menjadi alat komunikasi umum. Karena itu, dianggap tepat bila semua pengetahuan yang termuat dalam bahasa asing itu segera diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, sehingga bisa dikaji dan difahami masyarakat luas. Dewan penerjemah dibentuk diketuai oleh seorang pakar bernama Yuhana bin Musawih. 

Kota Baghdad menjadi mercusuar kota impian 1.001 malam yang tidak ada tandingannya di dunia pada abad pertengahan. Selain itu, pada masa kehalifahannya wilayah kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah membentang dari Afrika Utara sampai ke Hindukush, India. Kekuatan militer yang dimilikinya juga sangat luar biasa. 

Pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid, hidup seorang cerdik pandai yang sering memberikan nasihat-nasihat kebaikan kepada Khalifah, yaitu Abu Nawas. Nasihat-nasihat kebaikan dari Abu Nawas disertai dengan gayanya yang lucu, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Khalifah Harun Ar-Rasyid. 

Kebijakan dan kecakapannya dalam memimpin, membawa negara dalam situasi aman, damai dan tenteram, sehingga tingkat kejahatan sangat minim dan sangat sulit mencari orang yang akan diberikan zakat, infak dan sedekah, karena tingkat kemakmuran penduduknya merata. Pada masa pemerintahannya Dinasti Bani Abbasiyah mengalami masa kejayaan dan keemasan sekaligus menjadi salah satu pusat peradaban dunia. 

Khalifah Harun Ar-Rasyid meninggal dunia di Khurasan pada 3 atau 4 Jumadil Tsani 193 Hijriyah atau 809 Masehi setelah menjadi khalifah selama lebih kurang 23 tahun 6 bulan. Saat meninggal usianya 45 tahun, dan yang menjadi imam shalat jenazahnya adalah anaknya sendiri yang bernama Shalih. 

Dinasti Abbasiyah dan dunia Islam saat itu benar-benar kehilangan sosok pemimpin yang shalih dan adil, dan bijaksana. sehingga tak seorang pun yang teraniaya tanpa diketahui oleh Khalifah Harun Ar Rasyid dan mendapatkan perlindungan hukum yang sesuai. 

3. Khalifah Abdullah Al-Makmun (786-833 M)

Abdullah ibnu Harun Ar Rasyid, lebih dikenal dengan panggilan Al Ma’mun, dilahirkan pada tanggal 15 Rabi’ul Awal 170 Hijriyah 786 Masehi, bertepatan dengan wafat kakeknya Musa Al-Hadi dan pengangkatan ayahnya, Harun Ar-Rasyid. Ibunya, bekas seorang budak yang dinikahi ayahnya bernama Murajil dan meninggal setelah melahirkannya. 

Al-Makmun merupakan anak yang jenius. Sebelum usia 5 tahun dididik agama dan membaca Al Qur’an oleh dua orang ahli yang terkenal bernama Kasai Nahvi dan Yazidi. Untuk mendalami Hadits, Al-Makmun dan Al Amin dikirim ayahnya, Harun Ar-Rasyid kepada Imam Malik di Madinah. 

Al-Makmun dan saudaranya belajar kitab Al Muwattha karangan Imam Malik. Dalam waktu yang sangat singkat, al-Makmun telah menguasai Ilmu-ilmu kesusateraan, tata Negara, hukum, hadits, falsafah, astronomi, dan berbagai ilmu pengetahuaan lainnya. Ia juga hafal al-Qur’an dan ahli juga menafsirkannya. 

Setelah ayah mereka, khalifah Harun Ar-Rasyid meninggal, jabatan kekhalifahan sebagaimana wasiat dari Harun Ar Rasyid diserahkan kepada saudaranya dan Al Makmun mendapatkan jabatan sebagai gubernur di daerah Khurasan. Setelah Al-Amin meninggal, Al Makmun menggantikannya menjadi Khalifah. 

Sebagaimana ayahnya, Khalifah Harun Ar-Rasyid, Al Makmun adalah khalifah Dinasti Bani Abbasiyyah yang besar dan menonjol. Ia memiliki sifat-sifat yang agung, diantaranya, tekadnya kuat, penuh kesabaran, menguasai berbagai keilmuan, penuh ide, cerdik, berwibawa, berani dan toleran. Pada masa kekhalifahannya.

Dinasti Bani Abbasiyah mengalami masa kegemilangan. Beberapa pencapaian kejayaan dan gemilangan peradaban Islam di antaranya: 

a. Bidang pertanian dan Perdagangan

Dengan keamanan terjamin, kegiatan pertanian berkembang dengan pesat. Pertanian dikembangkan dengan luas. Buah-buahan dan bunga-bungaan dari Parsi makin meningkat dan terjamin mutunya. Anggur dari Shiraz, Yed dan Isfahan telah menjadi komoditi penting dalam perdagangan diseluruh Asia. 

Tempat-tempat pemberhentian kafilah dagang menjadi ramai dengan kafilah-kafilah yang datang dan memencar ke berbagai penjuru. Lalu lintas dagang dengan Tiongkok melalui dataran tinggi Pamir atau yang disebut dengan Jalan Sutera (Silk Road), dan Jalur Laut (Sea Routes) dari teluk Parsi menuju bandar-bandar lainya sangat ramai. 

b. Bidang Pendidikan

Dukungan dan perhatian besar terhadap pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana yang dimulai oleh Khalifah Al Mansur, dilanjutkan Khalifah Harun Ar Rasyid, semakin mendapat puncaknya oleh Al Makmun. Ia mendorong dan menyediakan dana besar untuk melakukan gerakan penerjemahan karya-karya kuno dari Yunani dan Syria ke dalam bahasa Arab, seperti ilmu kedokteran, astronomi, matematika dan filsafat. Berikut ini daftar para penerjemah masa dinasti Abbasiyah.

1. Yahya bin Abi Manshur
2. Qusta bin Luqa
3. Sabian bin Tsabit bin Qura, dan 
4. Hunain bin Ishaq yang digelari Abu Zaid Al Ibadi

Selain itu, Hunain bin Ishak, ilmuwan Nasrani menerjemahkan buku-buku Plato dan Aristoteles atas permintaan Al Makmun. Al Makmun juga mengirim utusan kepada Raja Roma, Leo Armenia, untuk mendapatkan karya-karya ilmiah Yunani Kuno yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. 

Khalifah Al Makmun mengembangkan perpustakaan Bait Al-Hikmah yang didirikan sang ayah, Khalifah Harun Ar Rasyid, menjadi pusat ilmu pengetahuan, yang berhasil melahirkan sederet ilmuwan Muslim yang melegenda. Selanjutnya dibangun Majlis Munazharah, sebagai pusat kajian agama. Pada masanya muncul ahli Hadis termasyhur, Imam Bukhori dan sejarawan terkenal, al Waqidi. 

c. Perluasan Daerah Islam dan penertiban Administrasi Negara

Di era kekhalifahan Al Makmun, Dinasti Abbasiyah menjelma menjadi negara adikusa yang sangat disegani. Wilayah kekuasaan dunia Islam terbentang luas mulai dari Pantai Atlantik di Barat hingga Tembok Besar Cina di Timur. Dalam mengembangkan wilayah kekuasaan di zaman Al Makmun, ada beberapa peristiwa besar yang dicapai, diantaranya penaklukan Pulau Kreta 208 Hijriyah atau 823 Masehi, dan juga penaklukan Pulau Sicily tahun 212 Hijriyah atau 827 Masehi. 

Kemudian pada tahun 829 Masehi, wilayah Islam mendapat serangan dari Imperium Bizantium (Romawi). Di penghujung tahun 214 Hijriyah 829 Masehi, dengan pasukan yang besar menyerang kekuasaan imperium Bizantium , pada tahun 832 Masehi  berhasil menduduki wilayah Kilikia dan Lidia. 

Tetapi belum seluruhnya menaklukkan Bizantium, khalifah Al Makmun keburu meninggal pada tahun 218 Hijriyah atau 833 Masehi dan perjuangan selanjutnya dilanjutkan oleh saudaranya yaitu Al-Mu’tashim.

Demikianlah pembahasan mengenai 3 khalifah yang terkenal pada masa Dinasti Abbasiyah, semoga ada ibrah dan hikmahnya buat kita semua untuk masa kini dan yang akan datang.
Dan's
Dan's Editor dan Content Writer

Post a Comment for "3 Khalifah Yang Terkenal Masa Dinasti Abbasiyah"