Sejarah Kerajaan Islam di Indonesia


Dadanby - Sejarah kerajaan Islam yang ada di Indonesia secara garis besar dapat di golongkan kepada tiga daerah atau pulau terbesar yang ada di Indonesia. Daerah kerajaan Islam itu meliputi: Kerajaan Islam yang ada di pulau Jawa, di pulau Sumatera dan di pulau Sulawesi. 

Para ahli sejarah telah mencatat dan menuturkan hasil temuan mereka untuk diketahui bersama, bahwa kerajaan Islam pertama kalinya ada di daerah sumatera. Berikut adalah sejarah kerajaan Islam di Indonesia, diantaranya :

1. Kerajaan Samudera Pasai 

a. Dinasti Meurah Khair

Pendiri dan raja pertama dari Kerajaan Samudera Pasai adalah Meurah Khair yang bergelar Maharaja Mahmud Syah (1042-1078 Masehi). Kemudian, disusul para penggantinya, yaitu Maharaja Mansyur Syah (1078-1133 Masehi), Maharaja Giyasuddin Syah (1133-1155 Masehi), Meurah Noe atau Maharaja Nuruddin yang dikenal juga sebagai Tengku Samudera atau Sultan Nazimuddin al Kamil. Ia berasal dari Mesir dan tidak mempunyai keturunan (1155-1210 Masehi).

b. Dinasti Meurah Silu

Meurah Silu bergelar Sultan Malik al-Saleh (1285-1297 Masehi). Ia adalah keturunan Raja Perlak (Malaysia) sekaligus merupakan pendiri kedua Dinasti Kerajaan Samudera Pasai. Dalam rangka memperkokoh hubungan dengan kerajaan Perlak, ia mempersunting putri Raja Perlak yang bernama Gangggang Sari. 

Para penerus Meurah Silu atau Sultan Malik al-Saleh adalah Sultan Muhammad Malik Zahir (1297-1326 Masehi), Sultan Mahmud Malik Zahir (1326-1345 Masehi), Sultan Mansur Malik Zahir (1345-1346 Masehi), Sultan Ahmad Malik Zahir (1346-1383 Masehi), Sultan Zainal Abidin (1383-1403 Masehi). 

Sultan Zainal Abidin adalah penguasa yang paling aktif menyebarkan Islam sampai ke pulau Jawa dan Sulawesi dengan mengirimkan para mubaligh seperti Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq. Bukti kemakmuran Kerajaan Samudera Pasai adalah adanya cerita dari Tome Pires (seorang pengembara asal Portugis) yang mengatakan bahwa pada saat itu sudah ada mata uang drama (dirham).

2. Kerajaan Malaka

Kerajaan ini pernah menguasai wilayah Semenanjung Malaka dan Riau. Penguasa yang pertama adalah Iskandar Syah. Ia merupakan raja pertama Kerajaan Malaka yang masih keturunan Majapahit yang kalah dalam perang Paregreg. Nama aslinya adalah Paramisora. Adapun para penerusnya adalah Muhammad Iskandar Syah, Sultan Muzafar Syah, Sultan Mansyur Syah (Laksamana Hang Tuah sangat berjasa pada masa pemerintahannya), serta Sultan Alauddin Syah.

Pada masa kekuasaan Sultan Alauddin Syah, kondisi ekonomi kerajaan cukup stabil, tetapi secara politis mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan banyak daerah yang ditaklukkan kemudian melepaskan diri serta terjadi beberapa pemberontakan oleh Sultan Mahmud Syah. Kerajaan Malaka dipengaruhi oleh dua budaya, yaitu Melayu dan Islam.

Hal ini menjadikan Kerajaan Malaka memiliki corak budaya egaliter, terbuka, demokratis, serta menghargai budaya lain. Pada masa Sultan Alauddin Syah, kerajaan Malaka semakin mengalami kemunduran karena wilayahnya hanya mencakup Semenanjung Malaka. Daerah- daerah lain telah memisahkan diri dan menjadi kerajaan baru. Dalam kondisi demikian, pada tahun 1511, Malaka jatuh ke tangan Portugis yang dipimpin oleh Alfonso d’Albuquerque.

3. Kerajaan Aceh

Darussalam Raja pertama kerajaan ini adalah Sultan Ali Mugayat Syah. Setelah wafat, ia digantikan putranya, yaitu Sultan Salahudin. Karena kelemahan Sultan Salahudin, akhirnya kekuasaan direbut oleh saudaranya, yakni Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al Qahar. 

Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al Qahar cukup berperan memperbaiki keadaan pemerintahannya dan aktif menyebarkan Islam dengan mengirimkan mubaligh ke berbagai daerah, seperti Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang diutus ke Gresik, Jawa Timur. 

Sepeninggal Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Qahar, Kerajaan Aceh Darussalam mengalami kemunduran. Kerajaan Aceh Darussalam kembali bangkit setelah diperintah oleh Sultan Iskandar Muda/Darma Wangsa Perkasa Alam Syah. Ia sangat taat beragama dan berusaha dengan gigih untuk membangun pemerintahan sehingga pada saat itu Kerajaan Aceh Darussalam berkembang sangat pesat.

Struktur kekuasaan kerajaan Aceh Darussalam terbagi menjadi dua wilayah, yaitu kekuasaan oleh kaum bangsawan dan kaum ulama. Dalam, kekuasaan kaum bangsawan, wilayah kerajaan terbagi-bagi menjadi daerah-daerah kehulubalangan yang dipimpin oleh Uleebalang. Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh menantunya yang bergelar Sultan Iskandar Sani yang naik tahta pada tahun 1636. 

Namun, kekuasaan Sultan Iskandar Sani tidak berlangsung lama karena kemudian digantikan oleh istrinya, yaitu Putri Sri Alam Permaisuri yang bergelar Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah. Selama 59 tahun berikutnya, Aceh Darussalam diperintah oleh para ratu.

Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, terjadi perpecahan antar kelompok dalam masyarakat yaitu golongan ulama (Tengku) dan bangsawan (Teuku). Penyebabnya, kaum bangsawan dianggap terlalu dekat dengan penjajah Belanda. Selain itu, perpecahan juga disebabkan perbedaan paham keagamaan, yaitu antara Islam Syi’ah dan Islam Ahli Sunnah Wal Jama’ah.

Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Sani, terdapat dua orang sastrawan terkenal, yaitu Nuruddin ar-Raniri dan Hamzah Fansuri. Kesusastraan Aceh Darussalam yang cukup terkenal adalah Bustanussalatin dan Hikayat Putrou Gumbok Meuh.

4. Kerajaan Demak dan Pajang

Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa. Para ahli memperkirakan Demak berdiri pada tahun 1500. Letak kerajaan berada di Bintoro, yakni di dekat muara sungai Demak. Pusat kerajaan terletak di antara pelabuhan Bergota dan Jepara. Raja-raja yang memerintah di Demak antara lain Raden Fatah sebagai pendiri sekaligus raja pertama, Pati Unus, Sultan Trenggono, dan Sunan Prawoto.

Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Fatah yang memerintah pada tahun 1500-1518. Pengangkatan Raden Fatah menjadi sultan dipimpin langsung oleh Sunan Ampel. Pada masa pemerintahannya, agama Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat karena gencarnya gerakan dakwah para wali.

Berdirinya kerajaan Demak dilatarbelakangi oleh melemahnya pemerintahan kerajaan Majapahit dan mulai menguatnya pengaruh Islam di tanah Jawa. Pada masa pemerintahan Raden Patah, wilayah kerajaan Demak meliputi Jepara, Tuban, Sedayu, Palembang, Jambi, serta beberapa daerah di Kalimantan.

Raden Fatah bergelar Senopati Jimbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayyidin Panatagama. Pada tahun 1511, ketika Kerajaan Malaka diserang oleh Portugis, Raden Fatah mengirimkan bantuan militer yang dipimpin oleh Pati Unus (putra Raden Fatah). Hanya saja, usaha tersebut tidak berhasil dan Malaka jatuh ke tangan Portugis.

Raden Fatah meninggal pada tahun 1518. Selanjutnya pemerintahan kerajaan Demak dilanjutkan oleh Pati Unus selama empat tahun. Ia meninggal pada tahun 1522 dalam usahanya mengusir Portugis dari Malaka. Pemerintahan dilanjutkan oleh adiknya, yakni Sultan Trenggono. Ia diangkat oleh Sunan Gunung Jati dan bergelar Sultan Ahmad Abdul Arifin.

Demak mencapai masa kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Trenggono. Pada awal masa pemerintahannya, Sultan Trenggono mengirimkan Fatahillah dan pasukannya ke Banten. Dengan bantuan pasukan Cirebon, Demak berhasilmenaklukkan Banten dan Pajajaran. Wilayah kekuasaan kerajaan Demak pun semakin luas.

Begitu pula Islam berkembang di seluruh penjuru kekuasaannya. Pada tahun 1546, Sultan Trenggono wafat. Sejak saat itu, Kerajaan Demak mulai mengalami kemunduran akibat terjadinya perebutan tahta kerajaan. Perebutan itu dimulai dari terbunuhnya Sunan Prawoto dan Sultan Hadiri oleh Ario Penangsang yang merasa lebih berhak atas tahta kerajaan Demak.

Namun, usaha Ario Penangsang untuk menguasai kerajaan Demak dihalangi oleh Joko Tingkir yang merupakan menantu Sultan Trenggono. Berkat dukungan Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi, Joko Tingkir berhasil membunuh Ario Penangsang. Tahta Kerajaan Demak pun jatuh ke tangan Joko Tingkir. Setelah menjadi raja, Joko Tingkir bergelar Sultan Hadiwijaya. 

Ia kemudian memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Pajang. Walaupun sudah menjadi kerajaan baru, Kerajaan Pajang masih mengakui sebagai penerus Kerajaan Demak.

5. Kerajaan Banten dan Cirebon


Kerajaan Banten didirikan oleh Syarif Hidayatullah pada tahun 1526. Daerah kerajaan Banten menjadi batu loncatan oleh kerjaan Demak untuk menguasai Pajajaran dari barat dan timur. Wilayah kekuasaan Banten meliputi sebelah barat pantai Jawa hingga Lampung. Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa.

Saat itu, Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa Kerajaan Sunda yang tidak direbut Kerajaan Mataram serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Sekitar tahun 1680, muncul perselisihan di dalam Kerajaan Banten akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya, yaitu Sultan Haji.

Perpecahan ini dimanfaatkan oleh VOC yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji. Adapun mengenai Kerajaan Cirebon, terdapat dua pendapat mengenai asal-usul nama Cirebon. Menurut Babad Cirebon, kata Cirebon berasal dari kata ci dan rebon yang artinya udang kecil.

Sementara itu, versi lain yang diambil dari kitab Nagarakertabhumi menyatakan bahwa kata Cirebon adalah perkembangan dari kata Caruban yang berasal dari istilah sarumban dengan makna pusat percampuran penduduk. Pada awal abad ke-16, Cirebon masih berada di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran.

Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuana ditempatkan oleh raja Pajajaran sebagai juru labuhan di Cirebon. Syarif Hidayatullah merupakan keponakan sekaligus pengganti Pangeran Cakrabuana sebagai Penguasa Cirebon. Dialah yang menjadi pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan kemudian juga Banten.

6. Kerajaan Mataram

Pendiri Kerajaan Mataram adalah Sutawijaya. Ia bergelar Panembahan Senopati dan memerintah pada tahun (1575-1601). Penambahan Senopati wafat pada tahun 1601 dan dimakamkan di Kotagede Yogyakarta. Ia digantikan putranya yang bernama Mas Jolang (1601-1613), kemudian Raden Mas Rangsang (Sultan Agung) pada tahun 1613-1645.

Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Kerajaan Mataram mencapai kejayaan. Pengaruh Mataram memudar setelah Sultan Agung meninggal pada tahun 1645. Selanjutnya, Kerajaan Mataram pecah menjadi dua, sebagaimana hasil Perjanjian Giyanti (1755).

Pertama, Kasunanan Surakarta Hadiningrat di bawah kekuasaan Paku Buwono III dengan pusat pemerintahan di Surakarta. Kedua, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di bawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I dengan pusat pemerintahannya di Yogyakarta.

Pada tahun 1813, terjadi perpecahan lagi sehingga Kerajaan Mataram akhirnya terpecah menjadi empat kerajaan kecil sebagai berikut; Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman, Kasunanan Surakarta, Kadipaten Mangkunegaran.

7. Kerajaan Gowa-Tallo

Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi tidak lepas dari perdagangan antar benua yang berlangsung ketika itu. Beberapa kerajaan Islam di Sulawesi, di antaranya Gowa-Tallo, Bone, Wajo dan Sopeng, serta Buton. Dari sekian banyak kerajaan-kerajaan tersebut, yang paling terkenal adalah Gowa- Tallo.

Sejak menjadi pusat perdagangan jalur laut, Kerajaan Gowa-Tallo menjalin hubungan dengan Ternate yang sudah menerima Islam dari Gresik. Raja Ternate, yakni Baabullah mengajak Raja Gowa-Tallo untuk masuk Islam, tetapi gagal. Baru pada masa Datu Ri Bandang datang ke Kerajaan Gowa-Tallo, agama Islam mulaimasuk ke kerajaan ini. Setahun kemudian, hampir seluruh penduduk Gowa-Tallo memeluk Islam.

Kerajaan ini mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1653-1669). Daerah kekuasaan Gowa-Tallo terbilang luas karena seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasai. Sultan Hasanuddin dikenal sebagai raja yang sangat anti terhadap dominasi asing.

Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasanuddin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya, kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasanuddin tersebut, maka Belanda memberikan julukan kepadanya sebagai “Ayam Jantan dari Timur”.

8. Kerajaan Ternate dan Tidore

Kerajaan Ternate dan Tidore memiliki wilayah kekuasaan yang meliputi Kepulauan Maluku dan sebagian Papua. Tanah Maluku yang kaya akan rempah-rempah menjadikannya dikenal di dunia internasional dengan sebutan Spice Island. Ada beberapa persekutuan yang terbentuk sebagai reaksi atas kepentingan Ternate dan Tidore terhadap kekuasaan, yaitu sebagai berikut.

a. Uli Lima (Persekutuan Lima), meliputi Ternate, Obi, Bacan, Seram, dan Ambon.
b. Uli Siwa (Persekutuan Sembilan), meliputi Tidore, Makyan, Jailolo, dan lain- lain.

Pada tahun 1512 bangsa Portugis datang ke Ternate sedangkan bangsa Spanyol datang ke Tidore. Sepuluh tahun kemudian, bangsa Portugis membangun Benteng Sao Paolo di Ternate. Pembangunan benteng tersebut menyulut perlawanan masyarakat Ternate yang dipimpin Sultan Hairun.

Bentuk perlawanan Sultan Hairun tidak dengan kekerasan, tetapi melalui perundingan. Namun, ia sendiri dikhianati dan ditangkap oleh Portugis sebelum akhirnya dibunuh. Sepeninggal Sultan Hairun, Ternate dipimpin oleh Sultan Baabullah. Ia berusaha membalaskan kematian Sultan Hairun.

Pada tahun 1575, Sultan Baabullah berhasil memukul mundur pasukan Portugis dari Ternate. Portugis lari ke arah selatan menuju pulau Timor dan menguasai pulau itu hingga tahun 1976. Setelah kejadian tersebut, Sultan Baabullah berhasil menguasai Maluku, Sulawesi, Papua, Mindanao, dan Bima. Karena keberhasilan Sultan Baabullah tersebut, ia dijuluki “Tuan dari Tujuh Puluh Dua Pulau”.

Demikianlah pembahasan mengenai sejarah kerajaan Islam di Indonesia. Semoga ada Ibrah dan manfaatnya bagi generasi masa kini dan yang akan datang. Wallahu A'lam