4 Tokoh Pembaharuan Dunia Islam dan Pemikirannya

Disaat umat Islam mengalami masa-masa kejumudan selalu saja ada orang-orang yang tampil kedepan untuk mengingatkan kembali tentang nilai-nilai Islam yang hakikiDiawali dari timbulnya rasa keprihatinan, ketidakpuasan dan rasa ketidakadilan, maka lahirlah pemikiran-pemikiran baru yang ingin merubah keadaaan tersebut.


Dalam sejarah perjalanannya, kebudayaan dan peradaban Islam juga mengalami pasang surut. Hal ini juga tergantung daripada siapa pemimpinnya dan bagaimana ia membawa kepemimpinannya itu. Berikut adalah 4 tokoh pembaharuan dunia Islam dan pemikirannya, diantaranya:

1. Muhammad Ali Pasya

Muhammad Ali Pasha merupakan seorang keturunan Turki yang lahir pada bulan Januari 1765 Masehi di kawalla, sebuah kota yang terletak di bagian utara Yunani, dan meninggal di Mesir pada tahun 1849. Negeri ini telah menjadi bagian kekuasaan Turki Utsmani yang berpusat di Istanbul sejak ditaklukkan oleh Sultan Muhammad II al Fatih (855/886 H-1451/1481 M) pada tahun 857 H/1453 M, dan baru dapat melepaskan diri dari kekuasaan Istanbul pada tahun 1245/1829 Masehi.

Ayah Muhammad Ali Pasha bernama Ibrahim Agha, seorang imigran Turki, kelahiran Yunani. Muhammad Ali Pasha adalah seorang pembaharu Islam pada abad 19 hingga abad 20 Masehi. Ia adalah orang yang pertama kali meletakkan landasan kebangkitan modern di Mesir, setelah munculnya kesadaran umat Islam di Mesir akan kelemahan mereka dalam mengahadapi ekspedisi Perancis oleh Napoleon Bonaparte (1769-1821 Masehi). 

Muhammad Ali Pasha mulai melakukan upaya-upaya pembaharuan terhadap Mesir pada tahun 1765-1848 Masehi. Ketika Muhammad Ali Pasha masuk dalam dinas militer, ia juga menunjukkan kecakapan dan kesanggupannya sehingga pangkatnya cepat naik menjadi perwira. Ketika pergi ke Mesir ia telah berhasil menduduki jabatan wakil perwira dan memimpin pasukan yang dikirim dari daerahnya. 

Ia adalah seorang perwira yang berhasil merebut kekuasaan di Mesir setelah tentara Perancis kembali ke Eropa tahun 1801 Masehi. Muhammad Ali Pasha kemudian menjadi penguasa penuh Mesir. Ia menjadi wakil resmi sultan (Kerajaan Utsmani) di Mesir. Untuk memajukan Mesir, Muhammad Ali Pasha melakukan pembenahan ekonomi dan militer. 

Atas saran para penasihatnya, ia juga melakukan program pengiriman tentara untuk belajar di Eropa. Pemerintahan Muhammad Ali Pasha membedakan pembaharuan yang ada antara struktur politik dan keagamaan di Mesir. Sejak Muhammad Ali Pasha menguasai Mesir, ia telah banyak melakukan upaya pembaharuan, baik dalam bidang politik, militer, ekonomi, pemerintahan maupun pendidikan. 

Proses pembaharuan ini dipengaruhi oleh proses transformasi dan majunya ilmu pengetahuan serta teknologi, baik dalam kehidupan sosial maupun perkembangan intelektual yang lahir dari sebuah paradigma baru. Menurut Muhammad Ali Pasha, kunci utama untuk menciptakan langgengnya kekuasaan adalah mengubah sistem militer. 

Kemudian Muhammad Ali Pasha mengundang seorang Kolonel Perancis bernama Seve, yang memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Sulaiman Pasha. Ia ditugaskan untuk melatih dan memodernisasikan angkatan bersenjata di Mesir. Muhammad Ali Pasha juga mengupayakan pengetahuan mengenai administrasi negara. seperti:
  1. Kementerian Pendidikan pada tahun 1815 M, yang sebelumnya tidak dikenal.
  2. Sekolah Militer (1815 M), pembentukan sekolah ini untuk memperkuat kekuasaannya di Mesir.
  3. Sekolah Teknik (1816 M), didirikan agar rakyat Mesir dapat memproduksi persenjataan dan memiliki keahlian dalam berperang.
  4. Sekolah Kedokteran (1827 M).
  5. Sekolah Apoteker (1829 M).
  6. Sekolah Pertambangan (1834 M).
  7. Sekolah Pertanian (1836 M).
  8. Sekolah Penerjemahan (1836 M).
Adapun untuk tenaga pengajarnya Muhammad Ali Pasha mengambil Guru dari Eropa terutama Perancis, Inggris dan Italia. Sedangkan untuk mengetahui ilmu pengetahuan Barat, Muhammad Ali Pasha mengirimkan beberapa pelajar ke luar negeri. Begitu pula dengan para cerdik pandai yang dipimpin oleh Rifa’ah At Tahtawi.

Selain itu, ia juga mengadakan pembaharuan dalam bidang administrasi dan birokrasi yang dianggap sangat penting pengaruhnya bagi masyarakat Mesir, karena masyarakat perlu dikelompokkan dalam suatu pola budaya, tipe, dan organisasi. Sedang dalam bidang pertanian, Muhammad Ali Pasha menyuplai para petani dengan bibit-bibit pertanian, alat-alat pertanian dan pupuk untuk dikembangkan oleh para petani.

Dengan beberapa pembaharuan yang dilaksanakan oleh Muhammad Ali Pasha, Mesir telah banyak mengalami kemajuan di berbagai bidang. Meskipun mungkin usahanya itu belum mampu menandingi kejayaan bangsa Eropa dikala itu, namun setidaknya ia telah menunjukkan prestasi yang gemilang terhadap pembaharuan di Mesir.

2. Muhammad Abduh

Muhammad Abduh lahir di Delta Nil yang sekarang masuk dalam wilayah Mesir sejak tahun 1849. Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah, seorang imigran yang berasal dari Turki dan telah lama menetap di Mesir. Adapun sang ibu berkebangsaan Arab yang memiliki garis keturunan dari Khalifah Umar Ibn Khatab ra. Kedua orang tua Abduh tinggal di desa Mahallah Nashr.

Setelah berpindah-pindah ke banyak tempat. Abduh kecil hingga remaja banyak menekuni pelajaran membaca dan menulis, dan pada usia 12 tahun ia sudah mampu menghafal al Qur’an dalam bimbingan langsung sang ayah. Pemikiran-pemikiran cemerlangnya mulai muncul ketika ia dikirim belajar secara formal oleh ayahnya ke Perguruan di Masjid Ahmadi untuk mempelajari pelajaran, seperti :

Bahasa Arab, Nahwu, Shorof, dan lain-lain, yang terletak di desa Thanta, salah satu desa di Mesir. Namun, ia merasa bahwa apa yang dipelajarinya sangat monoton dan ia tidak mengerti apa maksud dari ilmu yang ia dapatkan, karena ia hanya menghafal pelajaran-pelajaran itu tanpa tahu apa substansinya.

Ia tidak puas dengan metode belajar yang ada, yang hanya mementingkan hafalan tanpa memahami pengertian dari yang dipelajarinya itu. Bahkan ia berpikir lebih baik tidak belajar dari pada menghabiskan waktu hanya untuk menghafal istilah-istilah nahwu dan fikih yang tidak dipahaminya, sehingga ia kembali ke Mahallah Nashr (kampungnya) dan hidup sebagai petani serta melangsungkan pernikahan dalam usia 16 tahun.

Sang ayah tidak menyetujui langkah yang diambil oleh Abduh, ia memerintahkan Abduh untuk kembali ke Thanta dan menekuni kembali pelajarannya. Dengan terpaksa ia pun kembali ke Thanta. Namun, di tengah perjalanan ia membelokkan langkah kakinya menuju sebuah desa tempat tinggal pamannya, yaitu Syaikh Darwsy Khadir (paman dari ayah Muhammad Abduh) di Kanisah Urin.

Syaikh Darwisy adalah seorang penganut aliran tasawuf  Thariqah Syadziliyah dan memiliki pengetahuan yang luas. Syaikh Darwsy mengetahui sebab-sebab keengganan Abduh untuk belajar di Thanta, maka ia selalu mengajak Muhammad Abduh supaya membaca buku bersamanya. Kisah perjalanan hidup Muhammad Abduh diabadikan dalam buku yang berjudul “Muzakirat al ­Imam Muhammad Abduh” karya muridnya, Muhammad Rasyid Ridla.

Setiap barisnya Darwisy memberikan penjelasan yang luas tentang arti dan maksud yang terkandung dalam kalimat tersebut. Akhinya Muhammad Abduh berubah sikapnya terhadap buku dan ilmu pengetahuan. Dia mulai paham dengan apa yang dibacanya, kemudian ia kembali ke Thanta pada bulan Oktober 1865 Masehi.

Muhammad Abduh lalu melanjutkan pendidikan di Thanta, akan tetapi hanya 6 bulan lalu pergi menuju al Azhar yang diyakininya sebagai tempat mencari ilmu yang sesuai untuknya. Di al Azhar, ia pun hanya mendapatkan pelajaran ilmu-ilmu agama dengan metode yang sama dengan di Thanta. Hal ini membuatnya kembali kecewa.

Dalam salah satu tulisannya ia menyatakan rasa kecewanya tersebut dengan menyatakan bahwa metode pengajaran yang verbalis itu telah merusak akal dan daya nalarnya. Rasa kecewa itulah yang menyebabkan Abduh akhirnya menekuni dunia sufistik. Pada tahun 1871 Abduh bertemu dengan Jamaludin al Afghani yang datang ke Mesir pada tahun itu.

Dari al Afghani, ia mendapatkan pengetahuan filsafat, ilmu kalam dan ilmu pasti (eksak). Meskipun sebelumnya ia telah mendapatkan ilmu-ilmu tersebut di luar al Azhar, namun metode yang dipakai oleh al Afghany adalah metode yang telah lama dicarinya selama ini, sehingga ia lebih puas menerima ilmu-ilmu itu dari guru barunya tersebut.

Ia mengajar manthiq (logika), tasawuf, filsafat, ilmu pasti dan lain-lain di rumahnya. Ia mememiliki pemikiran dan semangat tinggi untuk memutus mata rantai kejumudan berfikir dan cara-cara berfikir yang fanatik. Akhirnya Muhammad Abduh menjadi pelopor penyebaran pemikiran Jamaluddin al Afghany di kampus al Azhar hingga berkembang luas ke seluruh Mesir bahkan dunia.

Setelah Abduh menyelesaikan studinya di al Azhar pada tahun 1877, atas usaha Perdana Menteri Mesir, Riadl Pasya, ia diangkat menjadi dosen pada Universitas Darul Ulum, Universitas al-Azhar, dan perguruan bahasa Khadevi. Ia mengajarkan berbagai mata pelajaran seperti teologi, sejarah, ilmu politik dan kesusastraan Arab.

Pada tahun 1877-1882 masehi, ia diasingkan ke Beirut karena terlibat gerakan politik, ia dituduh bersekongkol untuk menggulingkan Khadevi Tawfik. Di pengasingan ini ia bekerja sebagai guru sekaligus penulis. Kegiatan pembelajaran dilanjutkannya lagi di Beirut. Ia menterjemahkan kitab-kitab ke dalam bahasa Arab.

Di Beirut pula ia menyelesaikan penulisan bukunya yang termasyur Risalah al­ Tawhid yang mulai ditulisnya semasa mengajar di Madrasah Sulthaniyah, di samping beberapa buku terjemahan yang lain. Untuk kepentingan gerakan, Syaikh Muhammad Abduh telah menulis beberapa buku, antara lain al Islam wa Nashraniyah ma’al Ilmi wal Madaniyah.

Tahun 1888 ia kembali ke Mesir setelah selesai masa pengasingannya. Ia diperbolehkan kembali ke kota Kairo dan diberi kepercayaan memimpin surat kabar al ­Waqa’i al Mishriyah. Pada tahun 1882 bersama Urabi Pasya, Abduh ikut bergabung dalam gerakan politik menentang ketidakadilan negara. Ia kemudian diasingkan lagi ke Beirut dan Perancis.

Di Perancis ia bertemu kembali dengan Jamaluddin al-Afghani dan kemudian menerbitkan majalah al­Urwatul Wutsqa. Lalu ia kembali lagi ke Mesir. Namun karena pemerintah merasa khawatir akan pengaruh Abduh yang semakin diterima masyarakat luas, akhirnya Abduh tidak diperbolehkan mengajar oleh pemerintah Mesir.

Ia kemudian bekerja sebagai hakim agama (mufti) dan menjadi anggota majelis al ­A’la al ­Azhar yang berhasil membawa perubahan-perubahan di lembaga pendidikan tertua tersebut. Ia diangkat menjadi mufti sejak tahun 1899. Pembaharuan kedua yang dilakukannya adalah ketika ia menjabat sebagai mufti di tahun 1899 menggantikan Syaikh Hasanuddin al-Nadawi.

Usaha pertama yang dilakukannya adalah memperbaiki pandangan masyarakat bahkan pandangan para mufti sendiri tentang kedudukan mereka sebagai hakim. Para mufti sebelumnya berpandangan, bahwa mufti betugas sebagai penasehat hukum bagi kepentingan negara. Diluar itu seakan mereka melepaskan diri dari masyarakat umum yang mencari kepastian hukum.

Namun bagi Abduh, seorang mufti bukan hanya bekerja pada negara, tetapi juga pada masyarakat luas. Dengan demikian kehadiran Muhammad Abduh tidak hanya dibutuhkan oleh negara tapi juga oleh masyarakat luas. Langkah pembaharuan ketiga yang dilakukannya adalah dengan mendirikan organisasi sosial yang bernama al ­Jami’at al ­Khairiyyah al­ Islamiyyah pada tahun 1892.

Organisasi ini bertujuan menyantuni fakir miskin dan anak-anak dari keluarga yang tidak mampu. Selain itu, lembaga wakaf juga merupakan salah satu institusi yang tidak luput dari perhatiannya, sehingga ia membentuk majelis administrasi wakaf dan berhasil memperbaiki perangkat masjid. 

Namun demikian, tidak semua ide dan pemikiran pembaharuan yang dilakukannya dapat diterima oleh penguasa dan pihak al-Azhar. Penghalang utama yang dihadapinya adalah para ulama yang berpikiran statis beserta masyarakat awam. 

Ketika menghadapi banyak rintangan tersebut Abduh jatuh sakit dan meninggal pada 8 Jumadil Awal 1323 H/ 11 Juli 1905. Jenazah Muhammad Abduh dikebumikan di pemakaman negara Mesir di Kairo. Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran Muhammad Abduh, antara lain :
  1. Faktor sosial, berupa sikap hidup yang dibentuk oleh keluarga dan gurunya, terutama Syaikh Darwisy dan Sayyid Jamaludin al-Afghani. Di samping itu, faktor lingkungan dan sistem pendidikan di Thanta dan Mesir yang tidak efektif, serta sikap keagamaan yang statis dan adanya fikiran-fikiran yang jumud yang ia temukan di masyarakat.
  2. Faktor kebudayaan, berupa ilmu yang diperolehnya selama belajar di sekolahsekolah formal sekaligus pengaruh langsung pemikiran Jamaludin al-Afghani, serta pengalaman yang ditimbanya dari Barat ketika ia diasingkan ke Perancis.
  3. Faktor politik yang bersumber dari situasi politik di masanya sejak ia masih tinggal di lingkungan keluarganya di Muhallaf Nashr, sampai ketika ia kuliah hingga ia wafat.
Ketiga faktor di atas merupakan hal-hal yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran Muhammad Abduh dalam berbagai bidang, baik teologi, syari’ah, pendidikan, sosial, politik, hingga kebudayaan.

Gerakan pembaharuan Islam yang dilakukan Muhammad Abduh tidak terlepas dari karakter dan watak yang terbentuk sejak ia kecil, yaitu cinta pada ilmu pengetahuan. Muhammad Abduh memiliki 3 (tiga) agenda pembaharuan, yaitu:

Purifikasi 

Purifikasi atau pemurnian ajaran Islam merupakan fokus perhatian serius Muhammad Abduh berkaitan dengan munculnya bid`ah dan khurafat yang masuk dalam kehidupan beragama kaum muslim. Dalam pandangan Muhammad Abduh, seorang muslim wajib menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan syirik dalam bentuk apapun.

Reformasi Pendidikan Islam

Reformasi pendidikan Islam difokuskan Muhammad Abduh pada universitas Al Azhar tempat ia menimba ilmu. Ia menyatakan bahwa kewajiban belajar tidak hanya mempelajari buku-buku klasik berbahasa Arab yang berisi doktrindoktrin ajaran Islam. Namun, kewajiban belajar juga terletak pada mempelajari ilmu pengetahuan modern, serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui sebab-sebab kemajuan yang telah mereka capai. 

Selain itu, dalam bidang pendidikan nonformal Muhammad Abduh juga menyebutkan pentingnya upaya perbaikan (ishlah). Dalam hal ini Muhammad Abduh melihat perlunya campur tangan pemerintah terutama dalam hal mempersiapkan para pendakwah. Tugas mereka yang utama adalah:
  • Menyampaikan kewajiban dan pentingnya belajar.
  • Mendidik mereka dengan memberikan pelajaran tentang apa yang mereka lupakan atau yang belum mereka ketahui.
  • Memberikan semangat ke dalam jiwa para pendakwah untuk cinta pada negara, tanah air, dan pemimpin.
Pembelaan Atas Islam

Karya Risalah al­ Tauhid yang ditulis oleh Abduh dimaksudkan untuk mempertahankan jati diri Islam. Hasratnya untuk menghilangkan unsur-unsur asing dalam paham keislaman merupakan bukti bahwa ia tetap yakin dengan kemandirian Islam. Muhammad Abduh tidak pernah menaruh perhatian terhadap paham-paham filsafat anti-agama yang saat itu marak di Eropa.

Muhammad Abduh berusaha mempertahankan jati diri Islam dengan menegaskan bahwa jika pikiran dimanfaatkan sebagaimana mestinya, maka hasil yang dicapainya otomatis akan selaras dengan kebenaran ilahi yang dipelajari melalui agama. 

Ia sangat menjunjung tinggi ijtihad karena ijtihad membuktikan bahwa Islam tidak diturunkan untuk mendukung kejumudan, akan tetapi Islam diturunkan bergerak dinamis seiring perkembangan manusia dan problem-problem kemanusiaan.

3. Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal lahir Sialkot, Punjab, India pada tanggal 9 November 1877 Masehi. Ia dikenal juga dengan nama ‘Allama Iqbal. Ayahnya Nur Muhammad, pada mulanya adalah seorang pegawai negeri, kemudian menjadi seorang pedagang yang menempuh jalur sufistik. Mengenai nama ibunya tidak banyak sumber tertulis yang menjabarkannya.

Namun dari syair yang dibuat oleh Iqbal tampak bahwa ibunda Iqbal adalah seorang wanita yang taat beragama, besar kecintaannya pada anaknya, demikian pula Iqbal juga mencintainya. Dengan demikian, Iqbal lahir dari ibu dan bapak yang sama-sama taat. Pendidikan pertama Iqbal diperoleh dari ayahnya dengan belajar al Qur’an sekaligus menghafalnya. 

Sekolah pertamanya di The Scottish Mission College dikampung halamannya di Sialkot. Gurunya antara lain ialah Mir Hasan, seorang ulama besar dan guru dalam ilmu sastra Persia dan Arab. Dialah yang pertama kali menempa pelajaran agama ke dalam jiwa Muhammad Iqbal. Sejak itu, Muhammad Iqbal gemar menggubah syair-syiar dalam bahasa Urdu. 

Sesudah menikah, pada tahun 1895 Iqbal hijrah ke Lahore untuk melanjutkan sekolah tingkat atas. Di sekolah inilah Iqbal akhirnya bertemu dengan Orientalis Inggris terkenal, Sir Thomas Arnold, yang segera menyadari kecerdasan Iqbal. Orientalis adalah sebutan untuk ilmuwan Barat yang tertarik mendalami kajian keislaman di dunia timur.

Sir Thomas mendorong Iqbal untuk melanjutkan studi di Inggris. Akhirnya ia berangkat ke Inggris pada tahun 1905 untuk belajar filsafat dan hukum. Guru terkemukanya di Cambridge adalah Nco-Hegelian Motaggart. Pada tahun 1907 ia kemudian meninggalkan Inggris menuju Jerman, mempelajari bahasa di Haidelbarg dan mengajukan tesisnya tentang perkembangan metafisika di Persia (The Development of Metaphisich in Persia).

Setelah berhasil memperoleh gelar Doktor bidang filsafat dari Munich, Jerman, Iqbal kembali ke London, memberi kuliah di musim semi tahun 1908 tentang topik-topik keislaman, kemudian kembali ke India pada musim panas. Sejak itu ia aktif memberikan kuliah tentang filsafat dan sastra Inggris di India. Ia juga terjun sebagai pengacara.

Ketika itu ia menyatakan: I would like to see the Punjab, Nort West Frontior Province, Sind and Balochistan amalgamated into a single State (saya ingin melihat Punjab, daerah perbatasan barat laut, Sindi dan Balukistan menyatu menjadi satu negara tersendiri). 

Selanjutnya pada tanggal 14 Agustus 1947 lahir sebuah negara bernama Pakistan yang merupakan pecahan dari negara India. Iqbal yang telah menyatakan perlunya negara tersendiri bagi komunitas muslim tersebut kemudian dipandang sebagai Bapak Pakistan. Ada 3 buah gagasan Iqbal sebagai kontribusinya dalam gerakan pembaharuan Islam modern, antara lain:

Pan Islamisme 

Obsesi Iqbal mengenai terbentuknya negara tersendiri bagi komunitas muslim tidaklah bertentangan dengan faham Pan Islamisme. Iqbal menyatakan bahwa Islam bukan nasionalisme dan bukan pula imperialisme, melainkan sebuah lembaga bangsa-bangsa yang mengakui adanya batasan-batasan perbedaan rasial, namun itu hanya untuk mempermudah perkenalan belaka (li ta’arofuu), dan bukan untuk membatasi cakrawala sosial para anggotanya.

A Free Personal Causality 

Respon Iqbal terhadap kemandegan dan kejumudan intelektual umat Islam termasuk juga komunitas muslim di India ia sampaikan melalui pemikiran-pemikirannya antara lain tentang ego atau kehendak manusia: kebebasan dan keabadiannya. Iqbal mengemukakan bahwa adanya kebebasan manusia, sebagai dasar adanya pertanggung jawaban.

Ia memandang kehendak sebagai a free personal causality atau hukum sebab akibat dari kehendak pribadi. Manusia bebas melakukan kehendaknya, namun ia memerlukan pertanggungjawaban dari pelakunya. Termasuk dalam konsep ini adalah pendapatnya tentang ijtihad. Bahkan menurut Iqbal ijtihad merupakan the principle of movement in the structure of Islam.

Dengan demikian, dalam konsep ijtihad terdapat pula aspek perubahan, karena dengan adanya perubahan itulah ijtihad perlu dilakukan. Bukan hanya adanya perubahan, bahkan juga dinamika alam semesta. Dari sinilah Iqbal amat cerdik menemukan ajaran dinamisme. Ia menangkap adanya prinsip dinamika hampirprinsip dinamika ini.

Faham Dinamisme 

Faham inilah yang membuat Iqbal mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan di India. Terapi Iqbal dengan faham dinamikanya ini amat tepat dilihat dari sudut keminoritasan komunitas muslim ditengah-tengah komunitas Hindu yang mayoritas, karena dengan menyuntikkan semangat dinamisasi ke dalam komunitas muslim menyebabkan mereka dapat tampil dengan eksistensinya (keberadaannya) secara penuh.

4. Jamaluddin Al Afghani

Jamaluddin Al Afghani lahir di As’adabad, dekat Kanar di Distrik Kabul, Afghanistan, pada tahun 1839, dan meninggal di Istambul tahun 1897. Al Afghani berpendapat bahwa kemunduran umat Islam disebabkan antara lain karena umat telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Ajaran qadha dan qadar telah berubah menjadi ajaran fatalisme yang menjadikan umat menjadi statis.

Sebab-sebab lain adalah perpecahan di kalangan umat Islam sendiri, lemahnya persaudaraan antara umat Islam dan lain-lain. Untuk mengatasi semua hal itu, menurut pendapatnya umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang benar, mensucikan hati, memuliakan akhlak, berkorban untuk kepentingan umat, pemerintah otokratis harus diubah menjadi demokratis.

Ia juga menganjurkan umat Islam untuk mengembangkan pendidikan secara umum, yang tujuan akhirnya untuk memperkuat dunia Islam secara politis dalam menghadapi dominasi dunia Barat. Ia berpendapat tidak ada sesuatu dalam ajaran Islam yang tidak sesuai dengan akal ilmu pengetahuan, atau dengan kata lain Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan.

Adapun ide-ide pembaharuan dan pemikiran politik dari Jamaludin al Afghani tentang negara dan sistem pemerintahan, yaitu :

Bentuk Negara dan Pemerintahan 

Menurut al Afghani, Islam menghendaki bahwa bentuk pemerintahan adalah harus tunduk kepada Undang-Undang. Pendapat seperti ini tergolong baru dalam sejarah politik Islam yang selama itu hanya mengenal bentuk khalifah yang mempunyai kekuasaan absolut.

Pendapat ini tampak dipengaruhi oleh pemikiran Barat, sebab Barat lebih dahulu mengenal pemerintahan republik, meskipun pemahaman al-Afghani tentunya tidak lepas dari prinsip-prinsip ajaran Islam yang berkaitan dengan dengan kemasyarakatan dan kenegaraan.

Sistem Demokrasi 

Dalam sistem pemerintahan yang absolut dan otokratis tidak ada kebebasan berpendapat. Kebebasan hanya dimiliki para raja/kepala negara untuk bertindak dan tidak diatur oleh Undang-undang. Karena itu al Afghani menghendaki agar corak pemerintahan absulot diganti dengan dengan corak pemerintahan demokratis.

Pemerintahan demokratis merupakan salah satu identitas paling khas dari pemerintahan berbentuk republik. Demokrasi adalah pasangan pemerintahan republik sebagaimana berkembang di Barat dan diterapkan oleh Mustafa Kemal Attaturk di Turki sebagai ganti sistem pemerintahan khalifah.

Dalam pemerintahan negara yang demokratis, kepala negara harus mengadakan syura (musyawarah) dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang berpengalaman, karena pengetahuan manusia secara individual terbatas sekali dan syura diperintahkan oleh Allah dalam Al Qur’an agar dapat dipraktikkan dalam berbagai urusan.

Selanjutnya, para pemegang kekuasaan haruslah orang-orang yang paling taat kepada undang-undang. Kekuasaan yang diperoleh tidak lantaran kehebatan suku, ras, kekuatan material dan kekayaan. Baginya kekuasaan itu harus diperoleh melalui pemilihan dan disepakati oleh rakyat. Dengan demikian orang yang terpilih memiliki dasar hukum untuk melaksanakan kekuasaan itu.

Pendapat ini mengisyaratkan bahwa sumber kekuasaan menurut al Afghani adalah rakyat, karena dalam pemerintahan republik, kekuasaan atau kedaulatan rakyat terlembaga dalam perwakilan rakyat yang anggotanya dipilih oleh rakyat.

Pan Islamisme
(Solidaritas Islam) 

Jamaludin Al Afghani menginginkan adanya persatuan umat Islam baik yang negaranya sudah merdeka maupun masih dalam jajahan bangsa Barat. Gagasannya ini terkenal dengan sebutan Pan Islamisme. Ide besar ini menghendaki terjalinnya kerjasama antara negara-negara Islam. Kerjasama itu menuntut adanya rasa tanggungjawab bersama dari tiap negara terhadap umat Islam dimana saja mereka berada.

Persatuan umat Islam benar-benar menjadi tema pokok pada setiap tulisan al Afghani. Ia menginginkan agar umat Islam mengatasi perbedaan doktrin dan kebiasaan permusuhan. Perbedaan sekte tidak perlu menjadi hambatan dalam politik, dan kaum muslimin harus mengambil pelajaran dari contoh Jerman yang kehilangan kesatuan nasionalnya karena terlalu memandang penting perbedaan agama.

Bahkan perbedaan besar dalam doktrin wilayah teluk, antara sunni dan syi’ah, dapat dijembatani sehingga ia menyerukan kepada bangsa Persia dan Afghan supaya bersatu, meskipun yang pertama adalah syi’ah dan yang kedua non-syiah, dan selama masa-masa akhir hidupnya ia melontarkan ide rekonsiliasi umum dari kedua sekte tersebut.

Jamaludin Al Afghani menekankan solidaritas sesama muslim karena ikatan agama, bukan ikatan etnik atau rasial. Inilah ide orisinil yang merupakan bentuk solidaritas umat yang dikenal dengan Pan­ Islamisme atau al Jami’ah al­ Islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam sedunia).

Post a Comment for "4 Tokoh Pembaharuan Dunia Islam dan Pemikirannya"