Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Al-Azhar

Nama Al-Azhar begitu sangat dikenal dan sudah tidak asing lagi ketika kita mendengar bahkan membaca dalam buku-buku literatur sejarah kebudayaan Islam, karena dari tempat inilah banyak terlahir tokoh-tokoh muslim ternama di dunia. Sejarah mencatat bahwa Al-Azhar awalnya merupakan sebuah Masjid yang kemudian berkembang menjadi sebuah nama Universitas ternama dan tertua di dunia.


Berkembangnya Al-Azhar dimulai pada masa Dinasti Al Ayyubiyah, meskipun di awal pemerintahan Shalahuddin memberlakukan larangan menggunakan masjid Al-Azhar ini dipakai untuk kegiatan ibadah shalat Jum'at dan belajar agama madrasah, karena memang sejarah awal maksud daripada mendirikan masjid Al-Azhar ini adalah dipakai untuk propaganda ajaran Syi'ah pada masa Dinasti Fatimiyah berkuasa.

Sejarah Berdirinya Al-Azhar

Al-Azhar didirikan oleh seorang panglima dari Dinasti Fatimiyah yang bernama Jauhar As-Siqli sekitar tahun 970 Masehi, atas perintah seorang khalifah yang bernama Al-Muiz Liddinillah yaitu sebagai  tempat peribadatan Masjid yang bertujuan untuk mengembangkan ajaran-ajaran faham dan propaganda Syi'ah.

Nama Al-Azhar sebelumnya adalah sebuah masjid yang bernama Al-Qahirah atau Al-Jami'al Qahirah kemudian diganti dengan nama Al-Azhar sampai sekarang. Al-Azhar di bangun lamanya sekitar 2 tahun yang dimulai pada tanggal 4 April 970 sampai dengan 972 masehi, atau bertepatan dengan tahun 24 Jumadil Ula 359 Hijriah sampai dengan 7 Ramadhan 361 Hijriah.

Setelah masa pembangunannya selesai, kemudian diresmikan sebagai sarana tempat untuk Ibadah, dan peresmian itu di tandai dengan di adakannya ibadah shalat Jum'at bersama. Para sejarawan tidak mengetahui dengan jelas perubahan nama dari Al-Qahirah menjadi Al-Azhar.

Seorang ahli bernama Saniyah Qura'ah mengemukakan pendapatnya bahwa penamaan nama tersebut berawal dari usulan Yakub Ibnu Killis seorang Wajir pada zaman kekuasaan khalifah Al Aziz Billah. Bahwa penamaan itu dinisbatkan pada salah satu nama Istana milik khalifah Al-Qushur Al-Zahirah, yang dikaitkan dengan nama salah seorang putri Rasulullah saw yaitu Fatimah Az-zahra. 

Setelah itu nama lain juga muncul bahwa pemberian nama itu dikaitkan dengan nama salah satu planet yang bernama Venus yang cahayanya cemerlang, juga dikaitkan lagi dengan nama bunga yang dijadikan sebuah simbol kemegahan peradaban umat muslim di Kairo Mesir. Dengan beragamnya latar belakang nama pada Al-Azhar merupakan harapan-harapan para pendirinya agar Al-Azhar membawa kejayaan yang dapat menerangi dunia.

Seiring berjalannya waktu maka kegiatan dilingkungan masjid Al-Azhar selain sebagai corong untuk propaganda ajaran Syiah, juga kegiatannya dikembangkan dengan dibukanya Madrasah tingkat tinggi di Kairo Mesir. Tak lama kemudian Masjid ini diresmikan sebagai masjid negara dan menjadi tempat berkumpulnya para Ulama dan para pejabat Dinasti Fatimiyah untuk mendengarkan ceramah-ceramah umum.

Seorang penceramah ternama yang bernama Abu Al-Hasan Nu'man Ibnu Muhammad Al-Qirawaniy yang menjabat sebagai Hakim Agung dari Dinasti Fatimiyah dia pernah memberikan ceramah umum di Masjid Al-Azhar, yang terjadi pada tahun 975 masehi atau pada bulan Shafar 365 Hijriah.

Perkembangan Al-Azhar pada Masa Pemerintahan Dinasti Ayyubiyah

Setelah sekian lamanya berkuasa akhirnya Dinasti Fatimiyah mengalami kemunduran dan kehancuran, digantikan dengan berdirinya sebuah Dinasti yang beraliran Sunni, Dinasti ini bernama Dinasti bani Ayyubiyah yang berdiri di atas puing-puing Dinasti Fatimiyah yang bermazdhab aliran Syi'ah. Dengan adanya perbedaan aliran ini berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan Al-Azhar.

Pada masa Dinasti Ayyubiah yang dipimpin oleh Shalahuddin Al Ayyubi, ia mengeluarkan beberapa kebijakan salah satunya Al-Azhar tidak boleh digunakan lagi untuk melaksanakan shalat Jumat dan untuk kegiatan Madrasah. Shalahuddin beranggapan bahwa Al-Azhar pada masa Dinasti Fatimiyah dipakai untuk pusat kegiatan pengembangan ajaran-ajaran Syiah.

Kemudian Shalahuddin menunjuk seorang Qadhi atau hakim yang bernama Sadruddin Abdul Malik bin Darabas menjadi Qadhi tertinggi, yang berhak mengeluarkan fatwa-fatwa hukum yang bermazdhab Syafii. Salah satu fatwanya yaitu melarang umat muslim melaksanakan Ibadah shalat Jumat di masjid Al-Azhar dan dialihkan ke masjid Al Hakim dengan alasan masjid Al Hakim lebih luas.

Dalam mazhab Imam Syafii terdapat fatwa bahwa tidak memperbolehkan adanya dua masjid dalam satu kota yang sama, atas dasar itulah Al-Azhar tidak lagi dipakai untuk shalat Jumat dan pusat kegiatan pendidikan. Keadaan itu berlangsung kurang lebih seratus tahun semenjak Sultan Shalahuddin berkuasa dari tahun 1171-1267 masehi. 

Setelah sekian lamanya Al Azhar pakum karena ditutup kegiatannya oleh Sultan Shalahudin, akhirnya dihidupkan kembali pada zaman pemerintahan Sultan Malik Al Zahir Baybars dari Dinasti Mamluk yang berkuasa atas wilayah Mesir.

Kebijakan atas larangan Al Azhar digunakan untuk shalat Jum'at dan sebagai pusat kegiatan Madrasah, Masjid Al-Azhar tidak sepenuhnya ditinggalkan oleh murid-murid serta guru-guru, hanya sebagian yang meninggalkan Al Azhar.

Masa pemerintahan Sultan Malikul Aziz Imadudin Usman, putra Shalahuddin Yusuf Al Ayyubi datanglah seorang Ulama yang bernama Abdul Latif Al Baghdadi mengajar di Al-Azhar selama Sultan Al-Malikul Aziz berkuasa sekitar tahun  1193 masehi, materi pembelajarannya antara lain ilmu Mantiq dan Al-Bayan.

Selain mengajarkan ilmu Mantiq dan al-Bayan, Al-Baghdadi juga mengajarkan ilmu Hadits dan ilmu Fiqih. Materi-materi tersebut di ajarkan kepada para muridnya antara lain bertujuan untuk menyampaikan Mazdhab Sunni kepada masyarakat Kairo Mesir. Beliau mengajarkan ilmu Hadits dan Fiqih di pagi harinya sedangkan sore harinya ilmu mengenai kedokteran.

Beberapa Ulama yang masih menetap di Al-Azhar, yaitu :

1. Ibnu Al-Farid, seorang ahli sufi terkenal
2. Syeikh Abu Al-Qosim Al-Manfaluti
3. Syeikh Jama Al-Din Al-Asyuyuti
4. Syeikh Sahabu Al-Din Al-Sahruri
5. Syam Al-Din Ibnu Khalikan, seorang ahli sejarah pengarang kitab Wafiyyat Al-Ayan.

Sepanjang sejarah pemerintahan dinasti Ayyubiyah berkuasa, perkembangan Mazdhab Sunni sangat pesat. Sistem pendidikan semuanya berorientasi faham Sunni dan dalam sejarah perjalanannya Dinasti Ayyubiyah. Al Azhar menjadi Masjid dan sebagai lembaga pendidikan dan dijadikan sebagai pusat untuk pengembangan ajaran-ajaran Sunni.

Dinasti Ayyubiah merupakan salah satu Dinasti Khilafah yang setia pada pemerintahan Dinasti Abbasiyah di Baghdad, maka dalam menjalankan roda pemerintahannya sebagaimana pemerintah Abbasiyah yang berada di Baghdad, apalagi masalah Mazhab yakni Mazdhab Sunni. 

Pemerintahan Dinasti Ayyubiah menyadari betul bahwa tempat yang paling strategis untuk pengembangan kajian ilmu pengetahuan serta ajaran-ajaran paham Sunni lainnya adalah Al-Azhar yang berada di kota Kairo Mesir. Alumni-alumni para lulusannya banyak tersebar di berbagai penjuru dunia termasuk Indonesia.

Sekarang kita telah mengetahui tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan Al Azhar yang berada di Kairo Mesir, yang sampai saat ini masih menjadi ikon untuk pembelajaran ilmu pengetahuan Islam dari berbagai penjuru dunia. 

Negara Indonesia menjadi salah satu negara yang banyak mendapatkan kesempatan untuk mengirimkan para pelajar melalui program beasiswa bagi pelajar berprestasi yang diberi kesempatan untuk belajar menimba ilmu di al-Azhar Kairo Mesir.

Post a Comment for "Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Al-Azhar"